Penulis :
Orin Basuki | Jumat, 6 Agustus 2010 | 18:12 WIB
DENPASAR, KOMPAS.com — Sebanyak 10 negara anggota ASEAN
bersepakat memperkuat diri untuk memperjuangkan standar akuntansi khusus
pelaporan keuangan publik atau pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan
kawasan. Dengan cara ini, negara maju dan akuntan internasional yang
terus-menerus memperbarui standar akuntansi dunia tidak memaksakan suatu
standar akuntansi yang tidak tepat bagi pemerintahan di semua negara anggota
ASEAN, yang pada umumnya memiliki karakteristik berbeda dengan negara maju.
"Ini sudah ada kesepakatan
bersama agar daya tawar dan perundingan di dunia internasional diperkuat di
negara-negara ASEAN sehingga dapat membawa kepentingan negara-negara ASEAN
dalam pembahasan standar akuntansi internasional yang baru," ungkap Wakil
Ketua Komite Standar Akuntasi Pemerintah (KSAP) AB Triharta di Kuta, Bali,
Jumat (6/8/2010), menjelang penutupan acara Pertemuan Governmental Accounting
Standard-Setter of ASEAN Member Countries.
Pelaporan keuangan pemerintah
berbeda dengan swasta. Pada Desember 2009, Badan Standardisasi Akuntansi Sektor
Publik Internasional (IPSASB) menerbitkan standar khusus pada Standar Akuntansi
Sektor Publik Internasional (IPSAS) yang berbeda dengan standar akuntansi
perusahaan swasta (IFRS). Standar khusus itu, antara lain, mengatur laporan
keuangan proyek kerja sama pemerintah dan swasta (KPS), yakni mekanisme
pembangunan infrastruktur yang sedang digenjot Pemerintah Indonesia saat ini.
Hingga saat ini, ada 30 negara yang
mengadopsi IPSAS, antara lain Perancis, Afrika Selatan, Swiss, Rusia, Israel,
Slowakia, Austria, dan Brasil. Standar yang sama juga telah digunakan di semua
badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), OECD, Fakta Pertahanan Atlantik Utara
(NATO), dan Interpol. Selain itu, ada 10 negara yang menggunakan IPSAS sebagai
referensi, antara lain Indonesia, Australia, Selandia Baru, Kanada, Inggris,
dan Amerika Serikat.
Triharta menyebutkan, keinginan
untuk membuat forum tidak hanya datang dari 10 negara ASEAN, tetapi juga dari
delegasi Korea Selatan. "Keinginan untuk memperkuat daya tawar ini sangat
tinggi, bahkan ada yang ingin mempeluas jangkauannya, tidak hanya level
ASEAN," ungkapnya.
Di tempat terpisah, Anggota Komisi
Kerja, Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP), Hekinus Manao menegaskan,
Indonesia tidak mau diatur oleh standar akuntansi dunia yang tidak tepat untuk
kepentingan dalam negeri. Sebagai ilustrasi, bagi negara maju, hal terpenting
yang harus dicantumkan dalam laporan keuangan adalah masuk keluarnya uang.
Namun, bagi Indonesia, hal terpenting yang harus dilaporkan adalah dampak
anggaran terhadap penciptaan lapangan kerja atau kondisi aset negara.
"Jadi, tidak ada dasarnya suatu
lembaga akuntan internasional meminta negara seperti kita menggunakan standar
yang mereka buat. Kepentingannya berlainan," tuturnya.
Editor
:
Tri Wahono
ARGUMENTASI :
Standar akuntansi khusus pelaporan keuangan publik dan pemerintah terus
diperjuangkan oleh 10 negara anggota ASEAN sesuai dengan kebutuhan kawasan
masing-masing. Hal ini dilakukan karena kondisi ekonomi di negara berkembang berbeda
dengan kondisi di negara maju.
Indonesia adalah salah satu negara yang tidak mau diatur oleh standar
akuntansi dunia,dengan alasan standar tersebut tidak tepat untuk kepentingan
dalam negeri. Perbedan ini terihat pada hal terpenting yang harus dicantumkan
dalam laporan keuangan di negara maju adalah masuk keluarnya uang, sedangkan di
negara berkembang adalah kondisi aset negara tersebut sehingga hal tersebut
dijadikan alasan yang kuat bahwa negara berkembang tidak ingin diatur oleh
standar akuntansi internasional.
Seharusnya standar akuntansi dunia bisa dibuat lebih bijaksana, dimana
untuk kondisi ekonomi yang tidak bisa disamaratakan dibuat aturan yang lebih
spesifik, penerapan kebijakan ini akan lebih mudah untuk membandingkan laporan
keuangan antar negara.
0 komentar:
Posting Komentar