Kamis, 20 Juni 2013

Eric Schmidt: Google Dukung Reformasi Pajak Internasional

Penulis  : Anton Alifandi
Minggu, 19 Mei 2013 | 16:40 WIB



LONDON, KOMPAS.com - Komisiaris eksekutif Google, Eric Schmidt mengatakan, pihaknya mendukung reformasi sistem perpajakan internasional agar lebih sederhana dan transparan. Schmidt menyatakan sikapnya menanggapi tekanan politik di Inggris agar Google membayar pajak korporasi yang lebih besar.

Ketua Komisi Akuntabilitas Publik Parlemen Inggris, Margaret Hodge, dalam sidang dengar pendapat Kamis (16/5/13) menuduh Google berbuat jahat, licik dan tidak etis dalam menjalankan bisnisnya di Inggris. Sebelumnya Perdana Menteri David Cameron juga menuduh praktik bisnis Google di Inggris amoral. Komentar ini mereka lontarkan karena rendahnya setoran pajak korporasi Google untuk transaksi bisnis yang pada hakikatnya berlangsung di Inggris.

Pada tahun 2011, omzet penjualan iklan Google di Inggris bernilai 3,2 miliar poundsterling (sekitar Rp 47,7 triliun), tetapi perusahaan itu hanya membayar pajak korporasi sebesar enam juta poundsterling (sekitar Rp 89,5 miliar), jumlah yang amat rendah bila dibandingkan dengan tingkat pajak korporasi sebesar 28 persen. Google mengatakan, sebagian besar kontrak penjualan iklannya disahkan di Republik Irlandia, sehingga perusahaan itu tidak berkewajiban membayar pajak di Inggris.

Reformasi pajak

Dalam tulisannya di koran Minggu Inggris The Observer (19/5/13), Schmidt berharap agar pemerintah Inggris sebagai tuan rumah pertemuan puncak G8 bulan depan menjadikan reformasi perpajakan internasional sebagai salah satu agenda utama. Namun dia memperkirakan bahwa proses reformasi itu akan berjalan alot karena berbagai negara mempunyai kepentingan yang berlawanan. Schmidt memperingatkan bahwa kalaupun reformasi ini berhasil, tidak berarti bahwa semua negara akan diuntungkan.

Schmidt mengatakan, reformasi itu baru akan menguntungkan semua negara apabila tingkat pajak korporasi secara global dinaikkan secara signifikan, suatu tindakan yang menurutnya tidak bijaksana. "Konsekuensinya kemungkinan besar adalah inovasi berkurang, pertumbuhan berkurang dan penciptaan lapangan kerja berkurang," tulisnya.

Nada tulisan Schmidt yang pro reformasi pajak berbeda dengan reaksi awalnya terhadap tekanan politik yang dihadapi perusahaannya. Dalam komentar kepada Bloomberg Desember lalu, Schmidt mengaku bangga dengan cara Google menyiasati pajak. "Saya sangat bangga dengan struktur (pajak) yang kami dirikan. Itulah kapitalisme," katanya ketika itu.

Selain Google, Komisi Akuntabilitas Parlemen Inggris juga menyoroti rendahnya setoran pajak perusahaan-perusahaan multinasional seperti perusahaan eceran internet Amazon dan jaringan café Starbucks. Ketiga perusahaan tersebut pertama kali dipanggil oleh parlemen November tahun lalu. Menyusul sidang dengan Google Kamis lalu, Hodge mengatakan Amazon akan dipanggil untuk kedua kalinya dalam waktu dekat.

Amazon pada tahun 2012 membukukan omzet 4,3 miliar poundsterling, tetapi hanya membayar pajak korporasi 2,4 juta poundsterling. Sementara Starbucks selama tiga tahun sampai 2012 sama sekali tidak membayar pajak korporasi di Inggris dan selama 14 tahun beroperasi di Inggris hanya membayar 8,6 juta poundsterling. Padahal, pada tahun 2011 saja, omzet penjualan Starbucks di Inggris mencapai 400 juta poundsterling.

Sorotan parlemen terhadap Starbucks menimbukan boikot konsumen dan mendorong perusahaan itu untuk meningkatkan pembayaran pajaknya secara sukarela. Jajak pendapat yang dilakukan badan survei YouGov menunjukkan bahwa preferensi konsumen terhadap Starbucks turun dari 22,7 menjadi 15,4 persen, sementara preferensi terhadap Costa yang merupakan pesaing utama Starbucks naik dari 31,8 menjadi 39,4 persen. Seruan agar konsumen menggunakan situs penjualan online selain Amazon dan mesin pencari selain Google juga semakin meningkat. 

Editor : Rusdi Amral

ARGUMENTASI :
Reformasi sistem perpajakan internasional didukung oleh Komisiaris eksekutif Google, Eric Schmidt . Ia mengatakan agar lebih sederhana dan transparan, melalui ini ia menanggapi tekanan politik di Inggris agar Google membayar pajak korporasi yang lebih besar.

Reformasi sistem perpajakn ini baru akan menguntungkan semua negara apabila tingkat pajak korporasi secara global dinaikkan secara signifikan. Selain Google, Komisi Akuntabilitas Parlemen Inggris juga menyoroti rendahnya setoran pajak perusahaan-perusahaan multinasional seperti perusahaan eceran internet Amazon dan jaringan café Starbucks.

Fuad Rahmany Tak Tahu Ada 4.000 Perusahaan Belum Setor Pajak Selama 7 Tahun

Maikel Jefriando – detikfinance
Senin, 15/04/2013 15:34 WIB



Jakarta - Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany mengaku tidak mengetahui ada 4.000 perusahaan patungan (joint venture) yang beroperasional di Indonesia tak melakukan penyetoran pajak selama 7 tahun terakhir.

"Saya nggak tahu, yang 4.000 itu saya nggak tahu," ungkap Fuad saat ditemui di Gedung Kementerian Keuangan, Jalan Wahidin Raya, Jakarta Pusat, Senin (15/4/2013)

Ia mengatakan, akan mempertanyakan hal tersebut kepada Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang sebelumnya telah menginformasikan ke publik soal 4.000 perusahaan tersebut. "Nanti saya tanya dulu ke beliau," ucapnya.

Fuad mengakui ada perusahaan patungan yang dimaksud melakukan praktek transfer pricing atau penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, seperti perusahaan cabang dengan pusat.

"Jadi transfer pricing itu ada itu praktek internasional, transfer pricing itu satu tax planning yang biasanya dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional," jelasnya.

Biasanya lanjut Fuad, perusahaan tersebut bermain pada royalti ataupun profit yang berdampak pada pengenaan pajak.

"Kalau transfer pricing kan bisa royalty bisa profitnya, mestinya 50% tapi cuma 30%, biasanya kan masalah hak pemajakan, apakah bayar pajaknya di kita atau negara pusat perusahaannya," pungkasnya.

ARGUMENTASI :

Ketidaktahuan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany atas 4.000 perusahaan patungan (joint venture) yang beroperasional di Indonesia tak melakukan penyetoran pajak selama 7 tahun terakhir. Diduga hal ini terjadi akibat adanya perusahaan patungan yang melakukan praktek transfer pricing atau penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, seperti perusahaan cabang dengan pusat, dimana transfer pricing itu satu tax planning yang biasanya dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional.


Peran Asing di Industri Keuangan Semakin Besar

Kamis, 31 Januari 2013 | 07:33 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com - Peran investor asing dalam industri keuangan domestik semakin besar. Di tengah belum stabilnya kondisi perekonomian global saat ini, perkembangan itu tetap patut diwaspadai karena meningkatkan risiko di sektor keuangan secara nasional. 

”Besarnya kepemilikan asing di pasar SBN (surat berharga negara) dan pasar saham meningkatkan potensi terjadinya pembalikan arus modal secara tiba-tiba atau sudden reversal manakala pasar keuangan global ataupun domestik terguncang,” kata Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, di Jakarta, Rabu (30/1/2013). 

Bambang membacakan pidato kunci Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo pada seminar protokol manajemen krisis yang digelar majalah Warta Ekonomi. 

Bambang menyebutkan, di pasar modal, kepemilikan asing per Desember 2012 atas SBN mencapai Rp 270 triliun (33 persen) dari total SBN yang dapat diperdagangkan. Kepemilikan asing atas SBN per Desember 2011 senilai Rp 222,86 triliun (30,8 persen). 

Di pasar saham, kepemilikan asing terhadap total emisi di pasar saham mencapai Rp 1.481 triliun atau 54,54 persen per November 2012. Sementara nilai emisi lokal hanya Rp 1.234 triliun. 

Risiko internal
 
Kepala Divisi Manajemen Krisis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hari Tangguh menyatakan, stabilitas keuangan menjadi kunci perisai ketahanan lembaga keuangan nasional terhadap ancaman krisis ekonomi global. Selain posisi dana investor asing, OJK saat ini juga mengawasi dengan saksama interkoneksi dan konglomerasi. 

”Misalnya, lembaga pembiayaan yang melayani channeling ke perbankan. Secara nasional mencapai Rp 100 triliun. Total aset lembaga pembiayaan Rp 300 triliun,” kata Hari. 

Direktur Utama PT Jamsostek Elvyn G Masassya menyatakan, kondisi krisis dapat dimitigasi di tingkat makro ataupun mikro perusahaan. Tata kelola perusahaan yang baik akan mencegah terjadinya penyelewengan-penyelewengan yang memperbesar risiko ketika di tingkat makro sebuah kondisi krisis terjadi. Ia mengajak dunia usaha untuk mengedepankan tindakan preventif dibandingkan dengan kuratif.
 
Sumber : Kompas Cetak
Editor : Erlangga Djumena

ARGUMENTASI :
Besarnya peran investor asing dalam industri keuangan domestik patut diwaspadai di tengah belum stabilnya kondisi perekonomian global saat ini, karena meningkatkan risiko di sektor keuangan secara nasional. 

Hal ini dibuktikan oleh Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro yang menyebutkan bahwa, di pasar modal, kepemilikan asing per Desember 2012 atas SBN mencapai Rp 270 triliun (33 persen) dari total SBN yang dapat diperdagangkan. Kepemilikan asing atas SBN per Desember 2011 senilai Rp 222,86 triliun (30,8 persen).

Resiko tersebut dapat dihindari dengan tetap menjaga stabilitas keuangan negara dan tata kelola perusahaan yang baikakan memperkecil resiko ketika di tingkat makro sebuah kondisi krisis terjadi.

Investasi Ilegal Mengancam

Senin, 4 Maret 2013 | 07:18 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi, terutama di daerah-daerah tertentu, membuat aksi penipuan investasi atau investasi ilegal meningkat. Pelaku kejahatan menyadari di daerah itu lahir banyak orang kaya baru yang biasanya bingung menginvestasikan uangnya.
Banyak kasus penipuan investasi ditemukan di daerah-daerah yang perekonomiannya berkembang baik. ”Kasus seperti pada Raihan Jewellery dan Global Traders Indonesia Syariah (GTIS) banyak terjadi di Surabaya, Jakarta, Medan, dan beberapa kota besar yang secara ekonomi tumbuh produktif,” ujar Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Syahrul R Sempurnajaya, di Jakarta, pekan lalu.
Kasus investasi ini terungkap pekan lalu, saat empat nasabah Raihan Jewellery di Surabaya melaporkan pemilik perusahaan itu kepada polisi atas dugaan penipuan. Salah satu pelapor berinisial AML (46) mengaku rugi hingga Rp 850 juta. Dia pada Juli 2012 menginvestasikan Rp 1,8 miliar untuk membeli 2,7 kilogram emas batangan.
AML dijanjikan hasil 2,5 persen per bulan dan modalnya akan dikembalikan dalam tempo enam bulan. Namun, sejak Desember 2012, imbal hasil tak dibayar lagi. Raihan Jewellery diperkirakan menghimpun Rp 13,2 triliun dana nasabah untuk total 2,2 ton emas.
Menurut Syahrul, sepertinya pelaku sudah memetakan daerah sasaran, yang mereka anggap potensial. ”Perputaran uang dalam investasi bodong atau ilegal cukup besar meski kami belum pernah menghitungnya,” katanya.
Seperti diungkapkan di media, sedikitnya dana masyarakat yang dijebak dalam investasi ini mencapai Rp 45 triliun. Dana investasi ini antara lain berupa investasi emas, valuta asing, dan agrobisnis.

Menurut Syahrul, banyaknya warga kelas menengah di daerah dengan ekonomi produktif seharusnya dihiraukan oleh lembaga investasi, baik perbankan maupun non-bank. ”Kalau tidak dihiraukan, akhirnya ini dibidik oleh orang-orang tidak bertanggung jawab dengan kedok lembaga investasi resmi, dengan iming-iming imbal hasil yang menggiurkan,” paparnya.

Pengamat ekonomi, Bustanul Arifin, yang dihubungi kemarin, juga mengakui ada potensi dana besar di masyarakat. Ia sepakat dengan dugaan asal-usul dana besar itu salah satunya dari hasil pertambangan batu bara. Dana dari perkebunan kelapa sawit juga mungkin ada, tetapi jumlahnya lebih kecil. Ia lebih mencatat ada kemungkinan dana dari transaksi jual beli yang tidak tercatat.

”Jika ingin menghitung transaksi yang tercatat, lihat dari potensi penerimaan pajak. Jika seharusnya besar, tapi ternyata kecil, maka di situ ada transaksi tidak tercatat. Dari sini kemudian bisa muncul transaksi ilegal. Jalan keluarnya, mereka masuk ke pemburu rente dan juga investasi ilegal,” katanya.

Untuk itu, ujar Bustanul, pemerintah harus memikirkan jalan keluar investasi yang legal dengan memberikan kepastian hukum dan informasi investasi yang memadai.
Menurut ekonom Bank Mandiri, Destry Damayanti, susah untuk memperoleh angka pasti dana masyarakat yang beredar dan menunggu diinvestasikan. Namun, likuiditas yang berlimpah tercermin dari pertumbuhan investasi di luar dana pihak ketiga, yaitu dalam bentuk reksa dana, obligasi, atau saham. ”Juga yang masuk dalam investasi bodong yang saat ini menjadi masalah,” kata Destry.
Secara teoretis, pendapatan digunakan untuk konsumsi dan simpanan. Saat ini, potensi simpanan (tabungan bank) sekitar 54 persen. Padahal, beberapa tahun sebelumnya 60 persen. ”Inilah potensi simpanan di masyarakat,” kata Destry.

Modal surat izin
Syahrul menambahkan, penipuan investasi dilakukan perusahaan dengan hanya bermodalkan surat izin usaha perdagangan atau berbadan hukum koperasi. Mereka menjaring dana masyarakat lewat berbagai cara. Ada yang melalui sistem agen, atau ada yang secara daring (online) melalui internet.

”Untuk online biasanya berupa online trading forex. Kami sudah minta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir situs-situs penawaran investasi yang tidak jelas. Online trading tersebut sebagian besar berasal dari luar negeri,” ujarnya.

Syahrul menjelaskan, model Raihan Jewellery dan GTIS menjadi evolusi terbaru. Mereka tawarkan penjualan emas dengan harga lebih tinggi daripada harga emas, tetapi ditambah dengan bonus tetap bulanan yang nilainya menggiurkan. Di GTIS, misalnya, dengan membeli emas 100 gram seharga Rp 71,8 juta, peserta akan mendapatkan bonus bulanan Rp 1,436 juta per bulan. Ada juga model pembelian mobil dengan menambahkan modal 25-50 persen dari harga mobil. Angsuran leasing dibayar oleh pihak perusahaan dan setelah lunas modal kembali 100 persen.

Online trading
biasanya dilakukan melalui transaksi elektronik. Setelah dana nasabah terjaring banyak, situs pengelola investasi biasanya tidak bisa diakses lagi dan uang nasabah tidak terlacak lagi. Potensi perputaran uang, baik berupa kontrak emas maupun forex melalui situs web asing, ditaksir Bappebti mencapai Rp 500 miliar.

Modus lainnya adalah penawaran lewat kegiatan trading academy. Kegiatan promosi dikemas dalam bentuk kursus trading. ”Banyak selebaran dan iklan yang menawarkan trading academy. Kegiatannya dikemas semacam kursus yang berminat pada bisnis trading, tetapi ujung-ujungnya adalah penawaran investasi yang tidak masuk akal,” papar Syahrul.
Syahrul menambahkan, salah satu pilihan investasi adalah kontrak berjangka komoditas. Ada 16 pialang dan 15 pedagang di bursa berjangka komoditas. Kontrak berjangka menawarkan margin dengan nilai bergantung pada kejelian dan analisis investor. Perputaran uang dalam kontrak berjangka per tahun mencapai 7,87 triliun dollar AS.
Menurut Direktur Utama Bursa Berjangka Jakarta Bihar Sakti Wibowo, kasus investasi bodong sebenarnya sudah sering terjadi. Sudah banyak warga yang menjadi korban. Namun, warga tidak pernah mau belajar dari pengalaman tersebut. Kasus penipuan investasi masih saja terjadi karena iming-iming imbal hasil yang menggiurkan.
Pengamat pasar modal, Adler Manurung, di Jakarta, menegaskan, tidak ada yang bisa memastikan tingkat pengembalian dalam hal investasi kecuali dalam bentuk simpanan di bank. Jaminan yang dapat diberikan kepada investor adalah reputasi dan itikad baik lembaga penawar investasi.

”Investasi mempunyai konsep yakni investor harus menanggung risiko. Tingkat pengembalian tinggi bila ada lembaga yang menjaminnya, sehingga reputasi dan itikad baik lembaga tersebut dijadikan sebagai jaminan,” kata Adler, berkaitan dengan terungkapnya investasi yang menawarkan imbal hasil tinggi hingga 5 persen per bulan, tetapi ujung-ujungnya bermasalah dan disinyalir sebagai investasi bodong.

Adler mengatakan, investor harus selalu berhati-hati melakukan investasi. Jika ingin berinvestasi dengan tingkat pengembalian tinggi, investor harus mau menanggung risiko tinggi. ”Biasanya ada tempatnya, yaitu bursa, baik bursa saham maupun komoditas, bursa ini diatur melalui peraturan pemerintah,” ujar Adler.
Sumber : Kompas Cetak
Editor : Erlangga Djumena

ARGUMENTASI :
Pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia yang relative tinggi, tidak diiringi dengan pengetahuan akan investasi yang baik sehingga menyebabkan aksi penipuan investasi illegal semakin menjadi-jadi. 
Contoh kasus realnya adalah empat nasabah Raihan Jewellery di Surabaya yang melaporkan pemilik perusahaan tersebut kepada polisi atas dugaan penipuan. Pelapor berinisial AML (46) mengaku rugi hingga Rp 850 juta. Dia pada Juli 2012 menginvestasikan Rp 1,8 miliar untuk membeli 2,7 kilogram emas batangan.
Berdasarkan kasus ini pemerintah harus memikirkan jalan keluar investasi yang legal dengan memberikan kepastian hukum dan informasi investasi yang memadai, selain itu para investor juga harus berhati-hati dalam berinvestasi. Hindari perusahaan dengan hanya bermodalkan surat izin usaha perdagangan atau berbadan hukum koperasi, baik yang melalui sistem agen, atau ada yang secara daring (online) melalui internet dan jangan mudah tergiur oleh return tinggi yang ditawarkan.