Sabtu, 23 April 2011

PERJANJIAN

I. Ditinjau dari sudut Hukum Privat dan Hukum Publik Hukum Privat

Hukum Privat
A. Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian
perjanjian ini mengandung unsur :
a. Perbuatan,
    Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika
    diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan
    tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
    Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling
    berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama
    lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
c. Mengikatkan dirinya,
    Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada
    pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul
    karena kehendaknya sendiri.

B. Syarat sahnya Perjanjian
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
    Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang
    yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam
    persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan
    dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW);
    adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu
    muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat”
    berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2. cakap untuk membuat perikatan;
    Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
    a. Orang-orang yang belum dewasa
    b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
    c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
        pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
        membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah
       Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September
       1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.
       Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
       Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi    
       Hokum (Pasal 1446 BW).
3. suatu hal tertentu;
   Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka
   perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang
   yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan
   Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi
   obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4. suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat.
Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain
oleh undang-undang.
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat
mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak
cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat
dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak
terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.

3. Akibat Perjanjian
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak
(perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi
kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang
membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian
tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.

4. Berakhirnya Perjanjian
Perjanjian berakhir karena :
a. ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu;
b. undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian;
c. para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
    tertentu maka persetujuan akan hapus;
    Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang
    diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu
    keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang
    disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena
    adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi
    menjadi dua macam yaitu :
• keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali
  tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya
  gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force majeur).
  Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) :
  a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
     b. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas    
      dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi,
   kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
   • keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan
      debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan
      prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak
      seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia
      atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan
      memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu
      pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur.
d. pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh
    kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat
    sementara misalnya perjanjian kerja;
e. putusan hakim;
f. tujuan perjanjian telah tercapai;
g. dengan persetujuan para pihak (herroeping).


Hukum Publik
A. Pengertian Perjanjian
Dalam Hukum Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian Internasional.
Saat ini pada masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan yang
sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Perjanjian
Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama
untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya.
Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur
oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft-draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi
Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari
tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April sampai dengan 22
Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian
melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan merupakan hokum internasional positif.

Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan perjanjian internasional (treaty)
adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh
hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang
berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya. Pengertian diatas mengandung
unsur :
a. adanya subjek hukum internasional, yaitu negara, organisasi internasional dan
gerakan-gerakan pembebasan.
Pengakuan negara sebagai sebagai subjek hukum internasional yang mempunyai
kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional tercantum dalam
Pasal 6 Konvensi Wina. Organisasi internasional juga diakui sebagai pihak yang
membuat perjanjian dengan persyaratan kehendak membuat perjanjian berasal dari
negara-negara anggota dan perjanjian internasional yang dibuat merupakan bidang
kewenangan organisasi internasional tersebut. Pembatasan tersebut terlihat pada Pasal
6 Konvensi Wina. Kapasitas gerakan-gerakan pembebasan diakui namun bersifat
selektif dan terbatas. Selektif artinya gerakan-gerakan tersebut harus diakui terlebih
dahulu oleh kawasan dimana gerakan tersebut berada. Terbatas artinya keikutsertaan
gerakan dalam perjanjian adalah untuk melaksanakan keinginan gerakan mendirikan
negaranya yang merdeka.
b. rezim hukum internasional.
Perjanjian internasional harus tunduk pada hukum internasional dan tidak boleh tunduk
pada suatu hukum nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu dibuat oleh negara atau
organisasi internasional namun apabila telah tunduk pada suatu hukum nasional
tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut bukanlah perjanjian internasional.

B. Syarat sahnya perjanjian
Berbeda dengan perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak
sejak adanya kata sepakat, namun dalam hukum publik kata sepakat hanya
menunjukkan kesaksian naskah perjanjian, bukan keabsahan perjanjian. Dan setelah
perjanjian itu sah, tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak belum
melakukan ratifikasi.
Tahapan pembuatan perjanjian meliputi :
a. perundingan dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi bilateral
    maupun multilateral;
b. penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi naskah
perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan persetujuan dari semua
peserta melalui pemungutan suara;
c. kesaksian naskah perjanjian (authentication of the text), merupakan suatu tindakan
formal yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima konferensi.
Pasal 10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah
perjanjian atau sesuai dengan yang telah diputuskan oleh utusan-utusan dalam
konferensi. Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat dilakukan dengan
membubuhi tanda tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.
d. persetujuan mengikatkan diri (consent to the bound), diberikan dalam bermacam cara
tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu mengadakan perjanjian,
dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah sebagai berikut :
a) penandatanganan,
Pasal 12 Konvensi Wina menyatakan :
- persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk
tandatangan wakil negara tersebut;
- bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya;
- bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding menyetujui demikian;
- bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau dinyatakan
dengan jelas pada waktu perundingan.
b) pengesahan, melalui ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh badan
    yang berwenang di negara anggota.



C. Akibat perjanjian
1) Bagi negara pihak :
Pasal 26 Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku
mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good
faith. Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ negara yang harus
mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaannya. Daya ikat
perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda.
2) Bagi negara lain :
Berbeda dengan perjanjian dalam lapangan hukum privat yang tidak boleh
menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian internasional dapat
menimbulkan akibat bagi pihak ketiga atas persetujuan mereka, dapat memberikan hak
kepada negara-negara ketiga atau mempunyai akibat pada negara ketiga tanpa
persetujuan negara tersebut (contoh : Pasal 2 (6) Piagam PBB yang menyatakan
bahwa negara-negara bukan anggota PBB harus bertindak sesuai dengan asas PBB
sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional).
Pasal 35 Konvensi Wina mengatur bahwa perjanjian internasional dapat
menimbulkan akibat bagi pihak ketiga berupa kewajiban atas persetujuan mereka
dimana persetujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk tertulis.

D. Berakhirnya perjanjian
(1) sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri;
(2) atas persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjian tersendiri;
(3) akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian,
perubahan kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota, timbulnya
norma hukum internasional yang baru, perang.

II. Kesimpulan
Perjanjian, baik ditinjau dari sudut hukum privat maupun publik, sama-sama
memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang memperjanjikan jika sudah memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan untuk dinyatakan sah. Namun berbeda dengan perjanjian
yang berlaku dalam lapangan hukum privat yang hanya mengikat kedua belah pihak,
dalam lapangan hukum publik perjanjian mengikat bukan hanya kedua belah pihak
namun juga pihak ketiga.
Selain itu subjek perjanjian dalam lapangan hukum privat adalah individu atau
badan hukum, sementara subjek perjanjian dalam lapangan hukum publik adalah subjek
hukum internasional yaitu negara, organisasi internasional dan gerakan-gerakan
pembebasan.


sumber : google.com

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar