Jumat, 14 September 2012 | 02:04 WIB
Oleh Umar Juoro
Krisis Eropa serta stagnannya ekonomi AS dan
Jepang membawa konsekuensi pada negara berkembang, termasuk Indonesia.
Meski ekspor Indonesia tidak terlalu besar, sekitar
28 persen dari produk domestik bruto (PDB), melemahnya perekonomian negara
maju—juga China yang jadi tujuan utama ekspor Indonesia—menurunkan harga
komoditas dan ekspor Indonesia. Selain jalur perdagangan, pengaruh krisis Eropa
juga ditransmisikan ke Indonesia melalui jalur keuangan, yakni dengan
mengalirnya modal keluar Indonesia untuk memenuhi kebutuhan keuangan di negara
asal dan mencari tempat aman.
Dalam dua dekade belakangan ini sistem keuangan
dunia mengalami guncangan rata-rata setiap dua setengah tahun. Kita masih ingat
guncangan karena Perang Teluk (1991), krisis Asia (1997), krisis Rusia (1998),
serangan 9/11 (2001), Enron dan Perang Irak (2002), kasus Lehman (2008), Yunani
(2010), dan belakangan ini Eropa (2011). Akibatnya dirasakan sampai ke
Indonesia karena terintegrasi dengan sistem ekonomi dan keuangan global.
Besarnya pengaruh krisis tersebut bergantung pada
tingkat integrasi ke perekonomian dunia dan fundamental ekonominya. Makin
tinggi integrasi, makin besar pengaruh guncangan global. Semakin kuat
fundamental, semakin dapat mengatasi dampak dari krisis dan lebih sedikit modal
yang lari keluar. Kebijakan stimulasi dan depresiasi mata uang dapat mengurangi
dampak pengaruh krisis global.
Tingkat integrasi ekonomi Indonesia tidaklah terlalu
tinggi dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Rasio aset dan liabilitas asing
terhadap PDB sekitar 50 persen, sedangkan Korea dan Thailand lebih dari 100
persen.
Fundamental ekonomi Indonesia juga tergolong
bagus kecuali defisit neraca berjalan yang mencapai 3,1 persen PDB. Utang
pemerintah terhadap PDB rendah, 25 persen, defisit anggaran juga hanya 1,5
persen dari PDB.
Defisit neraca berjalan terutama karena besarnya
impor barang modal sejalan tingginya investasi dan aliran modal keluar karena
krisis Eropa. Besarnya impor minyak (sekitar 18 miliar dollar AS pada semester
ini) sejalan dengan besar subsidi BBM yang membuat konsumsi BBM terus meningkat
sehingga memperburuk neraca pembayaran.
Bagi penentu kebijakan, upaya mengendalikan
perekonomian menghadapi volatilitas ini sangat menentukan keberlanjutan
perkembangan ekonomi. Pertama-tama, bagaimana mengatasi defisit neraca berjalan
ini. Upaya mendorong penanaman modal asing (PMA) mengimbangi aliran modal
keluar adalah baik, tetapi punya konsekuensi meningkatnya impor. Sebab, PMA
pada umumnya bertujuan untuk pasar domestik dan kandungan impor tinggi. PMA
untuk infrastruktur dan produk bahan antara industri akan lebih baik dalam
mendukung kekuatan ekonomi.
Ekonomi domestik
Mengurangi impor minyak sangat membantu
menurunkan defisit neraca berjalan. Menaikkan harga BBM akan mengurangi impor
minyak. Begitu pula upaya mendorong investasi migas akan sangat membantu dalam
meningkatkan produksi migas dan mengurangi impor.
Kebijakan moneter selayaknya menjaga stabilitas
rupiah dengan depresiasi yang terkendali untuk mengurangi tekanan impor dan
meredam guncangan dari luar. Koordinasi fiskal dan moneter sangat penting dalam
menjaga stabilitas harga obligasi pemerintah dan ekonomi secara keseluruhan.
Kebijakan fiskal mesti lebih stimulatif mendorong
perekonomian domestik, terutama bagi usaha kecil dan menengah. Defisit anggaran
dapat diperbesar jadi sekitar 2 persen PDB.
Krisis Eropa tampaknya akan berjalan lama. Jika
pun terjadi pemulihan ekonomi di Eropa dan AS, akan sulit untuk pulih
sepenuhnya. Likuiditas uang telah demikian besar dipompakan oleh bank sentral,
tetapi dunia usaha tak bersedia untuk investasi karena ketidakpastian yang
masih tinggi. Defisit pemerintah dan neraca berjalan yang besar sulit diatasi
karena itu pemulihan akan sangat sulit. Sementara itu, ekonomi China, India,
dan negara berkembang lain belum cukup siap menghela ekonomi dunia.
Pola melemahnya perekonomian negara maju dan
meningkatnya perekonomian negara berkembang tampak jelas. Namun, transisi bagi
negara berkembang untuk jadi negara maju lebih sulit dengan melemahnya
perekonomian negara maju. Negara berkembang harus semakin mengandalkan ekonomi
domestiknya dan aktif mendukung kerja sama internasional untuk menjaga
stabilitas ekonomi global dan mengurangi ketidakseimbangan perdagangan,
terutama antara AS dan China.
Sumber : Kompas.com
ARGUMENTASI
:
Negara-negara
berkembang salah satunya Indonesia seharusnya tidak menggantungkan ekspor
perdagangan mereka sepenuhnya pada negara-negara yang memiliki andil yang besar
terhadap perekonomian dunia dikarenakan besarnya pengaruh krisis di negara maju
tersebut bergantung pada tingkat integrasi ke perekonomian dunia dan
fundamental ekonominya.
Selain tidak
menggantukan ekspor, negara berkembang juga seharusnya tidak terpaku pada
penanaman modal asing dan mengurangi impor sehingga dapat membantu menurunkan
defisit neraca berjalan. Pemerintah dapat menentukan kebijakan fiskal dan moneter,
upaya mengendalikan perekonomian menghadapi volatilitas ini sangat menentukan
keberlanjutan perkembangan ekonomi.
Pengaruh krisis eropa
ini membuat negara berkembang sulit untuk menyetarakan negara maju. Jika krisis
ini terjadi, maka Indonesia harus semakin mengandalkan ekonomi domestiknya dan
aktif mendukung kerja sama internasional untuk menjaga stabilitas ekonomi
global dan mengurangi ketidakseimbangan perdagangan, terutama antara AS dan
China.